Dia pergi menemui Sang Pencipta dengan hati
riang gembira, sambil menari dero (tarian
masal orang Ngada di Flores). Ayah saya, yang waktu kecil saya sapa Om Dus, memang suka menari. Dia menari dengan banyak orang di pesta dan acara adat. Dia juga sering berdansa dengan kami di rumah, tanpa pesta. Di malam tahun baru 2016, Om Dus masih ja’i berdua dengan saya di halaman rumah.
‘’Hoga Gate’’ adalah nama kecilnya. Saya sendiri baru dengar panggilan ini pertama kali dalam ratapan kakak tercintanya, ketika mengantar kepergiannya ke pangkuan Ilahi. Tadinya saya berpikir, gate mungkin pelesetan dari ganteng versi bahasa Bajawa. Tentu saja, mana ada kakak yang bilang adiknya jelek. Belakangan baru saya tahu, hoga gate artinya pemuda yang pandai menari.
Saya sendiri tidak mendapatkan kehormatan menyaksikan Om Dus tampil sebagai Hoga Gate yang dimaksudkan oleh kakaknya itu. Dalam hidup kami, saya dan Om Dus lebih banyak terpisah daripada bersama-sama. Tetapi saya tidak menyesal. Ada banyak kenangan lain yang mengisi kekosongan itu.
Membaca sudah menjadi bagian dari hidupnya, sejak muda. Kegemarannya ini menular ke sebagian besar anak dan cucunya.
Dia juga penikmat musik klasik. Belakangan
daftar kesukaannya bertambah, lagu-lagu rohani, lagu ja’i dan dero. Soal
menari dan berdansa, seperti orang-orang lain, kami sering berdansa dan menari
di rumah ketika mood sedang baik dan
ada lagu yang pas. Anak cucunya yang masih kecil-kecil pun jadi ikut-ikutan
suka ‘’tansa’’ (dansa). Yang paling saya kenang dari Om Dus adalah sikapnya yang konsisten. Tahun 2000, sewaktu saya memutuskan untuk kembali single, saya sangat mencemaskan reaksi Om Dus. Tanggapannya masih saya kenang hingga detik ini: ‘’Apa pun keputusan yang kau buat, saya dukung. Asalkan kau jangan sengsara.’’ Konsisten untuk membahagiakan anak-anaknya, meskipun harus menanggung malu. (Ah, air mata ini....)
Mungkin, saya adalah anaknya yang paling kepala batu. Sejak kecil suka banting kaki sebagai bentuk protes. Sampai besar pun, saya masih sering merajuk dan melakukan aksi menghindar dari beliau. Tetapi sekali ketemu topik yang enak, kami berdua bisa mengobrol sampai berjam-jam.
Dalam salah satu obrolan kami, Om Dus menggunakan analogi ‘’komunitas lebah’’ untuk mengajarkan saya tentang kerendahan hati. Semua manusia sederajat, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Hanya berbeda peran.
Setelah saya pikir-pikir kembali, Om Dus dan Kaka Yo (panggilan sayang kami untuk mama) termasuk orangtua yang amat tabah dalam menghadapi tingkah laku anak-anaknya. Mereka sungguh-sungguh setia menemani perjalanan suka dan duka kami, selalu menguatkan kami setiap kali kami jatuh. Saya melihat jelas kepedihan di mata mereka, setiap kali kami tertimpa masalah dan terluka.
Di tahun-tahun terakhir kehidupannya, Om Dus mulai pikun. Sering mengulang-ulang pertanyaan yang sama, membahas topik yang sama dan cepat sekali lupa. Kadang-kadang jadi cengeng. Airmatanya tergenang setelah berbicara berjam-jam di telepon dengan adiknya yang tinggal di Jakarta, atau anak cucunya yang kuliah di Yogya. Tetapi pemikiran dan sikapnya tentang kasih, kesetaraan, kejujuran, berbagi dengan orang lain, persatuan di antara saudara, dan berusaha menjadi orang Katolik yang baik, tidak pernah berubah.
Untuk itu, kami mohon maaf. Kami anak-anak dan keponakannya seringkali kuatir, sikapnya membuat orang lain sakit hati.
Kami juga menjadi saksi bagaimana beliau berusaha sangat keras untuk menjadi ayah, saudara, om, opa dan manusia yang lebih baik.
Saya sungguh tidak menyangka, ada begitu banyak orang yang mendoakannya dan menghibur kami ketika Om Dus dipanggil pulang oleh Sang Pemilik Kehidupan.
Terharu sekali membaca obituari beliau yang ditulis oleh Pak Hancel Goru Dolu dan Kak Valens Daki Soo. Limpah terima kasih kami kepada semua saudara dan kenalan yang mendoakan beliau dan menghibur kami.
Terima kasih bapa Hoga Gate dan mama Kaka Yo, sudah menghadirkan saya ke dunia 46 tahun yang lalu.


Comments
Post a Comment