Skip to main content

Nenek Adako (In Memoriam, Nenek Adako)



“Ada makanang ko ibu….!” 
(Makanang maksudnya sisa-sisa makanan, yang biasanya dikumpulkan untuk ternak babi)
Sebuah suara bernada rendah berseru pelan di depan rumahku. Siang itu terik matahari terasa bisa membakar hangus kulit siapa pun. Pintu-pintu rumah dibiarkan terbuka demi mengusir hawa panas. Sepi. Orang-orang mencari keteduhan dalam rumah masing-masing. Dengan sedikit enggan, saya bangkit dari lantai yang sejuk, mencari arah suara itu.
      Seorang perempuan renta berdiri di tangga depan rumah saya. Tubuhnya sudah sedemikian bungkuk hingga nyaris membentuk sudut 90 derajat dengan kakinya. Pakaiannya sangat kumal membalut tubuh tuanya yang rapuh dan dekil. Mulutnya berwarna merah darah oleh sirih yang terus dikunyah. Melihat saya berdiri di depan pintu, ia memicingkan mata.
Ada ko (= adakah?) …!” kali ini suaranya lebih lantang. Kata-katanya ini kemudian dijadikan julukan untuknya oleh anak-anak kecil di sekitar perumahan tempat saya tinggal. Nenek Adako. Atau Oma Adako.
Nenek, mari masuk dulu. Sudah makan?” tanya saya.
Kasih nenek minum saja,” ia menyahut singkat. 
Saya bergegas mengambil segelas air putih. Tanpa diduga, ia menolak.
Bukan air putih. Kopi.” Saya tersenyum geli.
Nah kalau begitu mari duduk dulu,” jawab saya.
Selama satu jam berikutnya, saya terlibat percakapan dengan nenek Adako, tentang kehidupannya. Usianya delapan puluh satu tahun. Ia tinggal seorang diri. Sebatang kara di dunia ini. Rumahnya, atau lebih tepat pondoknya, terletak kira-kira dua kilometer dari kompleks perumahan kami. Suaminya sudah tiada. Mereka tidak memiliki keturunan. Nenek Adako memelihara satu ekor babi dan beberapa ekor ayam. “Untuk dijual supaya dapat uang, bisa beli beras dan gula,” ia menjawab pertanyaan saya tentang mengapa ia memelihara babi dan ayam. Setiap hari ia berkeliling dari rumah ke rumah mencari sisa-sisa makanan bagi ternaknya. Mengenai kebutuhan pangannya, menurut Nenek Adako, “Tuhan sendiri yang sediakan untuk saya.” Jawaban yang sama juga berlaku untuk kebutuhan sandangnya.
Nenek Adako menunduk mengucapkan doa singkat sebelum menghirup kopi yang saya buat untuknya. Barang bawaanya sangat banyak. Ada gumpalan plastik berbagai warna, botol bekas air mineral, dan beberapa buah jerigen kosong bekas wadah minyak goreng.
Sebelum pulang, Nenek Adako saya bekali dengan dua bungkus besar roti manis yang lembut, beberapa lembar T-shirt yang masih layak pakai dan sejumlah uang. Ia menerima semua itu tanpa mengucapkan terima kasih. Saya juga tidak berharap ia akan berterima kasih dengan kata-kata. Saya tahu ia senang dengan pemberian saya. Itu sudah cukup.
Ritual seperti ini bukan ekslusif milik saya dan Nenek Adako. Setiap hari selalu berulang, dengan keluarga yang berbeda-beda. Ada puluhan ‘famili’ Nenek Adako di seluruh kompleks perumahan. Karena itu, giliran saya menerima tamu khusus ini baru akan terjadi sekitar dua bulan ke depan.
Nenek Adako sebenarnya berwajah lembut dengan tatapan mata yang ramah. Namun suaranya yang rendah dan serak, serta postur tubuhnya membuat ia tampak sedikit menyeramkan bagi anak-anak. Saya sering mendengar para ibu menakut-nakuti anak-anak mereka agar segera tidur dengan menyebutkan nama Nenek Adako. Anehnya, jika sudah lebih dari sebulan Nenek Adako belum juga lewat di blok kami, anak-anaklah yang akan terlebih dulu meributkan ketidakhadirannya. Takut tapi rindu.
































Menjelang Natal. Saya bersiap-siap mengepak barang bawaan termasuk sekoper penuh ole-ole, untuk di bawa ke kampung halaman. Tanpa diduga, Nenek Adako sudah duduk di tangga depan rumah saya. Kali ini ia tidak meminta makanang, tidak berkata apa-apa. Wajahnya terlihat pucat dan letih. Saya segera menghampiri. Tawaran makan dari saya tidak ditampik. Demikian pula, ia tidak menolak segelas air putih yang saya tawarkan. Saya malah heran karena ia menolak ketika saya menawarkan kopi.
Nenek kenapa?” tanya saya prihatin. “Tidak enak badan? Sakit?
Sonde.” (= tidak)
Pertanyaan-pertanyaan saya selanjutnya tidak dijawab sama sekali. Ia hanya duduk dalam diam. Saya berusaha membaca melalui matanya, yang ada hanyalah tatapan hampa. Tidak lama kemudian ia bangkit dan berjalan pelan meninggalkan halaman rumah saya.
Nenek, tunggu…,” saya mengejarnya ke halaman. “Ini ada uang sedikit, untuk beli gula dan beras. Selamat natal Nenek. Beta mau pulang kampung.”  
Ia menatap mata saya lekat-lekat. Tatapannya sarat oleh kesedihan, meski tidak ada air mata di sana. “Terima kasih,” sahutnya singkat. Dan ia pun membalikkan tubuhnya, menyeret langkah meninggalkan saya yang masih berdiri terpaku.

Saya hanya bisa menebak. Mungkin Natal membuat nenek teringat pada orang-orang yang dikasihinya. Mungkin ia kesepian. Dalam hati saya memohon pada Tuhan agar Dia memberi mujizat Natal apa pun yang dibutuhkan oleh Nenek Adako. 

(Nenek Adako telah kembali ke pangkuan Sang Pemilik Kehidupan, tahun 2016 yang lalu. Beristirahatlah dalam damai, Nek.) 


Comments

Popular posts from this blog

Ikat weaving in East Sumba Island

A Foggy Day in Bajawa

Kabut di bulan Juli. Ya. Juli.
Siapakah aku, hingga bisa membuat Tuhan gusar? Baru-baru ini, salah seorang teman saya kembali dari pejalanan rohani ke luar negeri. Sebagai ucapan syukur atas kembalinya kolega kami tersebut, diadakanlah acara makan siang bersama semua staf. Setelah berbagi cerita tentang perjalanannya, kami semua bersyukur bahwa kolega kami itu terhindar dari bencana jatuhnya crane dan musibah Mina.  Tentu saja kami juga sangat prihatin dengan korban yang berjatuhan akibat tragedi itu. Teman saya yang bijak itu kemudian menceritakan bahwa ada banyak pendapat dan tafsiran pribadi yang berbeda-beda mengenai musibah di Tanah Suci. Jika seseorang meninggal di sana, ada yang bilang itu berkah, tetapi ada juga yang menuding bahwa musibah terjadi karena Tuhan marah. Entahlah, marah pada orang yang menjadi korban atau orang-orang di sekitarnya. "Memangnya kita ini siapa, bisa bikin Tuhan marah?" itu kata-kata teman saya, yang sampai sekarang masih terus saya renungkan. "Yang terbaik ya...